Jumat, 08 Juni 2012

behind bilion personality #2


Baru aja Steven mau mengetuk pintu kantor SMP Rajin Sekali tiba-tiba ada yang mendorongnya dari samping dengan keras. Opan. “Ngapain kak Tepen disini?” tukas Opan ketus. “eh Opan, kakak cuma..”,”Cuma apa??” potong Opan sadis. Sementara anak-anak sudah tampak berkerumun mengelilingi mereka. Opan menatap sekeliling dengan liar. “itu siapa Pan? kakakmu ya?” sergah seorang anak cowok berambut ikal. Opan menatap Steven. “bukan..” jawabnya lalu pergi. Steven menggigit bibir. “ada apa Pak? ada yang bisa dibantu?” sergah suara. Steven menoleh. Bu Iva, kepala sekolah SMP Rajin Sekali tengah berdiri di depan pintu kantor. “eh iya maaf Bu, saya.. wali dari Opan..”,”owh iya mari silahkan masuk Pak” tukas Bu Iva mempersilahkan Steven masuk. “hmm..jadi Pak Steven eh maksud saya Dik Steven bukan kakak kandung dari Opan?” sergah Bu Iva.
Steven mendongak. “ah itu..saya..”,”Dik Steven ini baik sekali, maaf lho bukan mau mencampuri urusan pribadi Dik Steven, tapi bagaimana bisa Dik Steven memiliki 5 orang adik angkat sekaligus? maaf tapi saya tau berita ini dari salah seorang teman guru yang tinggal dekat rumah Dik Steven, kalau Dik Steven tidak keberatan saya ingin mengetahui bagaimana cara Dik Steven merawat mereka semua?” sergah Bu Iva. “Apa Dik Steven, maaf, masih memiliki orang tua?” lanjut Bu Iva. Jam menunjukkan pukul 4 sore. Daun daun jatuh tertiup angin sore saat Steven berjalan menuju Resto Seafood yang bernama Resto Ikan yang letaknya berada di ujung jalan. “ini hanya saran saya saja, tapi apa sebaiknya Dik Steven mencarikan mereka orang tua asuh atau orang tua angkat mungkin? meski mungkin mereka terlihat baik-baik saja, tapi tetap saja seperti yang kita semua tau, semua anak berhak dan menginginkan kasih sayang dari orang tua, saya takut akan ada beban psikis yang berat jika terus dibiarkan seperti ini” . “kak Tepen!!” seru Uta yang tiba-tiba nongol dari dalam Resto. “U-ta..” sergah Steven yang tersadar dari lamunannya kemudian tersenyum. Uta langsung berlari memeluk Steven. Semua orang pun spontan melihat ke arah mereka. “uta..”,”kak Tepen, Uta pulang ya daaahh…!!” serunya lalu berlari pergi. Steven merasa semua orang tengah memandanginya, ia pun segera masuk ruang ganti untuk ganti baju seragam karyawan. Ketika Steven membuka loker tiba-tiba ada seorang karyawan cowok yang masuk. Deko. Anak magang yang baru. Sepertinya mereka seumuran. “jagalah sikap loe, walau bagaimana pun dia bukan adik kandung loe !” tukas Deko seakan datang kesitu hanya untuk ngomong gitu doang lalu pergi.
$$$
Pagi harinya Pak Bruno masuk. Ia pun lalu mulai mengabsen kelas. Namun saat sampai ke nama Steven. tidak ada sahutan. Pak Bruno memandang satu persatu wajah murid di kelasnya hingga sampai pada seorang yang tengah tertidur pules di mejanya tanpa tanda-tanda kehidupan. “Bangun!!!!” hardik Pak Bruno sambil memukulkan penggaris kayunya di atas meja Steven hingga mental. spontan semua anak bergidik ngeri. Steven pun langsung terbangun. “berani sekali kamu tidur di pelajaran saya???” tukas Pak Bruno mendekatkan wajahnya ke wajah Steven seakan ingin menelannya hidup-hidup. “Hahhhh!!!!” seru Pak Bruno yang seakan hujan lokal di wajah Steven. “berhubung kalian adalah anak-anak yang terpilih melalui seleksi, Bapak ingin sekalian mengetes sejauh mana kalian memahami materi yang Bapak sampaikan di kelas !”. Pak Bruno langsung melirik Steven. “Dan kamu Steven, akan Bapak tugaskan untuk mengajar pelajaran Bapak di kelas IPS 13 jam ke 5 nanti” sahut Pak Bruno dengan senyum penuh kemenangan di wajahnya. Semua anak-anak pun spontan riuh. “wawawa.. IPS 13 itu kan kelasnya Davi and the gank.. wah parah..”
$$$
Pergantian jam ke 5. Bel pun berdering. 3 IPS 13. Papan nama yang miring dan nyaris jatoh. Melihat auranya aja udah nyeremin. Dari balik pintu terlihat anak-anak IPS 13 yang tampak seperti sarang mafia. wajah mereka sangar-sangar dengan aksesoris-aksesoris yang menganehkan. Guru-guru enggan masuk ke kelas ini untuk mengajar. Sehingga jarang ada pelajaran. Paling hanya ulangan, catatan dan tugas. Tiba-tiba terdengar suara pintu berderak. Steven muncul dari balik pintu. Semua mata langsung memandang padanya. “siapa dia?” tukas seorang cowok berambut sapu. Beberapa anak tampak cekikikan dibelakang saat Steven membuka pintu dan BYUUUURRR!!! seketika seluruh isi kelas terbahak-bahak melihat Steven sudah basah terguyur air. Sungguh penyambutan yang sangat dramatis. Steven mengusap wajahnya lalu melangkah menuju meja guru namun. GDUBRAKKK!!! Steven terpeleset karena lantai licin yang sudah dilumuri minyak sebelumnya. Spontan anak-anak pun terbahak-bahak lagi melihat Steven jatuh. “jadi dia yang mo gantiin guru buat ngajar disini? payah banget!” seru si Zacki, anak yang duduk di bangku belakang. Steven tersenyum sambil berusaha berdiri. Pelan-pelan ia pun sampai di meja guru. Diletakannya tasnya lalu mengambil buku. “apa dikelas ini ada alat pel?” Tanya Steven yang langsung ditertawai oleh anak yang duduk di depannya. “pake aja baju loe!” serunya. Steven pun membuka jasnya lalu mulai melap lantai licin tersebut membuat anak-anak sontak diam dan bengong ngeliatin dia. “apa-apaan dia itu?”,”apa dia udah gila?” sahut anak lain. Setelah selesai mengepel lantai ia pun kembali ke meja guru. Tiba-tiba seorang anak berambut jambul maju ke depan. “pak guru, duduk dong masa diri aja kan capek” ujarnya lalu menarik kursi guru untuk Steven. Steven membalas senyuman si rambut jambul dan mengikuti ajakannya buat duduk namun. BRUAKKKKK seketika kursinya ambruk ke lantai. Anak-anak pun spontan ngakak lagi. Ternyata ini cuma akal-akalan si rambut jambul yang udah memotong kaki kursi itu sebelumnya buat ngerjain Steven. Darah segar mengalir dari tangan Steven. Tangannya gak sengaja tergores paku besar yang ada di kursi saat kursinya patah tadi. Steven menggigit bibir dan segera memakai jas almamaternya yang kotor dan basah untuk menutupi lukanya. Ia pun lalu berdiri dan membuka tasnya. Dikeluarkannya sebuah spidol lalu mulai menulis di papan. Anak-anak tampak acuh dan gak peduli sampai si rambut jambul bersorak. “apa itu??” sahutnya menunjuk lantai yang berceceran darah. Anak-anak pun spontan menoleh. dan benar aja darah itu menetes dari tangan kiri Steven. Si jambul melongo menatap Steven yang terus menulis di papan meskipun tangannya berdarah. Tiba-tiba pintu di buka. Davi, Rio dan Andre nongol dari balik pintu. Steven seketika menoleh dan tersenyum ke arah mereka. Sementara Davi langsung melotot melihat cowok itu ada di dalam kelasnya. Tapi ia gak mau ambil pusing dan sangat males buat nanya. Ia pun langsung melengos ke bangkunya tanpa kata-kata. Sementara Rio dan Andre melongo menatap darah di lantai yang berasal dari tangan Steven. “ngapain dia disini?” Tanya Rio pada si jambul yang duduk di sebelahnya. “dia itu yang gantiin guru matematika ngajar disini”,”kok bisa bukannya dia itu murid?” sergah Rio memperhatikan seragam Steven. “mana gw tau, kenapa loe gak tanya aja sendiri??” sahutnya membuat Rio melotot dan langsung menarik jambulnya. “dasar jambul jelek, berani loe ma gw hah??” serunya. Si jambul menoleh ke arah Davi yang juga menatapnya sadis. “e-enggak enggak ampun ampuuun!!” sahut si jambul memohon sambil memegangi rambutnya. Steven membalikkan badanya menghadap mereka. “haruskah kita nulis semua itu?” sergah Andre membalikan tasnya hingga barang-barangnya jatoh semua. belati, rokok, kartu remi, pisau dapur, tali tambang dan majalah xxx. “ups gw gak bawa pulpen” sahutnya dengan nada sok polos serentak membuat seluruh anak kelas terbahak. Steven seketika menjatuhkan spidolnya menatap barang-barang yang memenuhi meja Andre. Terlihat senyum mengembang di wajah Andre melihat ekspresi Steven. “kalau gitu gimana kalo kita buat sebuah permainan” sahut Steven kemudian. “permainan menjawab soal, dan jika bisa menjawab..”,”maka kita bisa ngelemparin loe pake ini” sahut Davi memotong kata-kata Steven sambil menunjuk ke arah sepatunya yang dinaikan ke atas meja. Semua anak bersorak. “iya setujuuuuu, setujuuuuu!!!” seru mereka. Steven lalu tersenyum. “baik, kita mulai..” sahutnya membuat seluruh anak kelas terdiam lagi. Sepertinya anak yang ditunjuk Pak Bruno menggantikan dia benar-benar sudah gila. “soal pertama tentang perkalian sederhana, 7 x 7”,”itu sih pertanyaan anak TK, jawabannya jelas 77” jawab Andre pede. Steven bengong mendengar jawaban Andre. Entah anak ini bercanda atau emang jauh dari pinter. “49” jawab seorang anak dari bangku kanan. Si rambut sapu. Semuan anak diam menunggu jawaban Steven. Ia lalu tersenyum. “benar” jawabnya. Anak-anak pun bersorak dan segera melempar sepatu-sepatu mereka ke arah Steven. “yah kena, gak asik” sahut Andre. “gak kayak di film-film laga, kan bisa ngindar, gak seru aahhhh” tiba-tiba sebuah pisau melesat melewati wajah Steven dan menancap di papan tulis. Semua anak pun langsung menoleh ke bangku Davi termasuk Andre dan Rio. “kalo gitu lempar pake itu aja, kita tes apa dia bisa ngindar atau enggak” sahut Davi sambil tersenyum aneh ke arah Steven. “kenapa, loe takut? gak usah ngajar disini kalo emang gak punya nyali” sahut Davi lalu menghirup rokoknya dalam-dalam dan menghembuskannya ke arah Steven. “kita coba sekali lagi” sahut Davi menaikan satu alisnya yang lalu melempar pisau berikutnya ke arah Steven. PLETAKKKK.. seketika sebuah sepatu kulit hitam melayang membuat pisau itu seketika terpelanting jatuh ke lantai. Pak Indro. kepala sekolah SMU Gepinton kini berdiri di depan pintu kelas membuat anak-anak spontan terdiam seribu bahasa. Memang sulit di sangkal kalau Pak Indro memang pantes menjabat sebagai Kepala Sekolah. karismanya sebagai guru dan kepala sekolah membuatnya disegani oleh semua murid termasuk kelas IPS 13. Lain halnya dengan guru-guru lain yang hanya mampu berkoar-koar tanpa tindakan yang bijak. “sudah Bapak duga saat guru matematika kalian melaporkan akan ada murid yang mengajar kalian, pasti akan terjadi hal semacam ini, kamu gak apa-apa?” Tanya Pak Indro yang kaget melihat Steven yang tampak sudah basah kuyup dan berdarah?? Pak Indro melotot. “kenapa? kenapa dengan tanganmu??” Tanya pak Indro kaget. Davi memicingkan mata menatap Steven. Pak Indro pun langsung melirik Davi sadis. “kamu, ikut Bapak ke kantor!” seru Pak Indro sambil menunjuk Davi berang. Di luar kantor tampak banyak anak-anak berkerumun saat melihat Pak Indro, Davi dan Steven masuk ke dalam. “duduk!” perintah Pak Indro dingin. “kenapa?kamu ambeyen?” sergah Pak Indro saat melihat Davi masih berdiri. Davi menatap Pak Indro tak suka namun akhirnya duduk tanpa kata-kata. “kamu tau ini apa?” Tanya Pak Indro sambil menunjuk pisau milik Davi di atas meja. “enggak” jawab Davi asal. “apa?? kamu yang punya ini tapi kamu gak tau ini apa??” sergah Pak Indro dengan nada tinggi.”Bapak sendiri tau gak itu apa?” Davi nyolot. Pak Indro melotot. “kalau Bapak aja gak tau apalagi saya” sahut Davi lalu menyalakan rokoknya. Pak Indro merebut rokok itu dan mematikannya. Davi ngeluarin lagi rokok lain dari sakunya. Pak Indro merebut dan mematikannya lagi. Davi ngeluarin lagi. Pak Indro langsung mengambil bungkus rokok dari dalam saku Davi dan melemparnya ke tong sampah. Davi menatap Pak Indro sadis namun Pak Indro malah tersenyum senang. “kamu murid baru kan?” sergah Pak Indro mengalihkan pandangannya pada Steven. Davi langsung melirik Steven sambil  memicingkan mata. “saya sudah banyak mendengar tentang prestasi kamu di sekolah ini sejak pindah dari..” Pak Indro melirik Davi yang balas menatapnya. “tapi saya tidak mengerti apa motif Pak Bruno memintamu untuk mengajar di kelas IPS 13, walau bagaimanapun ini tidak sesuai dengan prosedur sekolah, saya sebagai kepala sekolah mewakili Pak Bruno meminta maaf dan sangat menyesal untuk kejadian hari ini” ucap Pak Indro. Davi tersenyum sinis. “bagaimana tangan kamu, apa lukanya parah?” Tanya pak Bruno. Steven tersenyum. ”ah gak apa-apa Pak, ini.. gak apa-apa..” jawab Steven sambil tersenyum ringan. “lalu apa yang terjadi sebenarnya? bisa kamu ceritakan Steven?” pinta Pak Indro. “sebenarnya.. tidak terjadi apa-apa Pak, ini.. adalah kesalahan saya” terang Steven masih dengan senyumnya. Davi berdehem sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di meja. “kamu yakin? lalu bagaimana soal bajumu yang basah? dan soal tanganmu, kenapa bisa sampai berdarah begitu?” Tanya Pak Indro. “apa anak-anak IPS 13 yang melakukannya?” tambah pak Indro menatap Steven. Mereka saling bertatapan dengan ekspresi aneh untuk beberapa detik. Pak Indro kemudian melirik Davi yang tampak bersiul-siul sendiri. “sudah, kamu boleh keluar!” perintah Pak Indro berasa ngusir. Davi langsung berdiri dan berjalan ke pintu saat Pak Indro melanjutkan kata-katanya. “kamu itu beruntung, karena Steven kita begitu berbaik hati” sahut Pak Indro menghentikan langkah Davi yang spontan menoleh pada Pak Indro yang tersenyum aneh ke arahnya. Beruntung? Steven kita? Davi meringis saat keluar dari kantor. kita yang mana? kita siapa?. Tapi entah kenapa sepertinya ada yang janggal dari kata-kata Pak Indro tadi. Gak biasanya dia mengatakan kata-kata aneh seperti itu. Seantero sekolah tau Pak Indro bukan tipe guru yang suka mengatakan hal-hal yang tidak penting. Dia berkata begitu seolah-olah Steven itu..   
$$$
“hmm apa jangan-jangan bokapnya itu yang punya sekolah ini lagi, makanya Pak Indro ngomong kayak tadi?” tebak Andre saat mendengar cerita Davi soal Steven. “gw rasa enggak deh, kalo iya kenapa kita bisa gak tau ya kan?” timpal Rio sambil menyalakan rokoknya. Davi merebahkan tubuhnya di lantai balkon atap sekolah. “Dav, gw rasa kita musti nyelidikin dia, gw rasa gak tau kenapa ada sesuatu yang aneh sama tuh anak dari pertama kali masuk sekolah kita” sahut Rio menoleh ke arah Davi yang udah tidur dengan pules. Andre terkekeh melihat ekspresi dongkol Rio. “gw setuju” tukas Andre sambil melempar yoyo di tangannya. KETOMPRENGG!!.. tiba-tiba terdengar suara, Rio dan Andre pun segera berdiri melihat keadaan. “Siapa??” tukas Rio yang berjalan memeriksa ke arah tangga. kosong. “Siapa yo?” Tanya Andre yang mengambil sebongkah kayu panjang yang tergeletak di dekatnya. tiba-tiba seekor kucing kecil muncul sambil mengeong. “ahhh gw kirain sape..” ujar Andre melempar bongkahan kayu di tangannya. Rio mendekati kucing itu lalu memungutnya. “kucing sial!” tukasnya hendak melempar kucing itu keluar balkon atap gedung berlantai 5 itu. “eeh jangaaaaan!!!” pekik suara. Dinda tiba-tiba muncul dari balik dinding. Rio melepas kucing kecil itu yang lalu berlari pergi. Andre terkekeh melihat reaksi Dinda yang seperti baru melihat adegan pembunuhan. “loe?..ngapain loe disini?” sergah Rio kaget menatap Dinda. “jangan-jangan loe sengaja ngikutin kita kesini ya?” timpal Andre. “eng..gak, a-aku tadi cuma gak sengaja lewat sini” elak Dinda. “loe gak sengaja lewat ke atap sekolah?” Rio terkekeh “alesan apaan tuh, selaen kita, gak pernah ada orang yang kesini, lagian loe mau ngapain kesini? mau bunuh diri?” sergah Rio. Dinda mendelik ngeri mendengar kata bunuh diri. Dari atap sekolah? lantai 5. “heh kenapa malah loe bengong? bener ya loe mau bunuh diri?” ulang Rio. “enggak”, “trus?”. Ditanya gitu Dinda jadi ter skak mat. Mau jawab apa. “ee..aku..aku cari Lisa, iya Lisa..” jawab Dinda sekenanya. Rio berjalan mendekati Dinda yang tampak ketakutan. “eeh mau apa? jangan mendekat!” sergah Dinda mundur teratur, namun tanpa sengaja ia mundur pada tempat yang salah. Saat kaki kanannya melangkah mundur, Dinda baru sadar tidak ada pijakan di belakangnya seketika tubuhnya terhuyung kebelakang. Apa artinya ia akan jatuh dari lantai 5. Sebuah tangan menangkapnya. Mencengkeram tangannya dengan kuat. Dinda memejamkan matanya. Tubuhnya gemetar hebat. Ia ingin berteriak tapi tak ada kata keluar dari bibirnya. Ia bergelantung sekarang. “jangan lepas!!” seru suara dari atas yang seperti dikenalnya. Davi. Rupanya cowok itu sudah terbangun dari tidurnya. Rambutnya tampak berantakan namun matanya menatap tajam pada Dinda. “Diam, jangan bergerak gw bakal angkat angkat loe ke atas!” tukasnya dengan nada bergetar. Dengan dibantu Rio dan Andre. Davi akhirnya bisa menarik Dinda ke atas. Dan tanpa menunggu detik berlalu Davi langsung merengkuh Dinda ke dalam pelukannya. Dinda shock untuk beberapa detik. Dinda lalu mendorong Davi dan langsung menamparnya. Rio dan Andre melongo kaget sementara Dinda berlari pergi menuruni tangga. Davi hanya diam sambil memegangi pipinya yang memerah.
$$$

1 komentar:

  1. steven ngumpetin apa rupanya?
    wii, si dinda pula.. tinggi ya mainnya, maksudnya bener2 tinggi, sampe ke lt 5?
    ke ingat waktu nyaris jadi penghuni abadi lantai 5, hehhe

    BalasHapus